Jumat, 28 Mei 2010

TIDAK SEMUA YANG ENGKAU TAHU HARUS TERUCAPKAN


Laisa kullu ma yu’lamu yuqalu. Tidak semua yang diketahui itu harus terucapkan. Sebab likulli maqaamin maqaalun. Setiap kondisi dan keadaan itu mempunyai perkataan yang tepat. (atau jika anda mau anda juga bisa mengatakan bahwa ‘setiap perkataan itu memiliki saat dan kondisi yang tepat untuk di ucapkan’). Ini adalah sebuah nasehat penting bagi siapa yang diberi karunia ilmu dari Allah. Sebab nampaknya memang sulit untuk dipungkiri bahwa 'mengetahui’ saja tidaklah cukup. Karena agar ‘perngetahuan’ itu jatuh ditempat yang tepat, kita membutuhkan ‘pemahaman’. Yang terakhir inilah yang disebut dengan istilah fiqh.

Yah, manusia ini banyak yang tidak mengetahui mengenai dien Allah. Hanya sedikit saya yang mengetahuinya. Dan dari sedikit yang mengetahui itu, semakin sedikit pula yang diberikan pemahaman. Maka untuk orang yang sangat khusus ini, sang Rasul SAW mengatakan: “man yuridi-llahu bihi khairan yufaqqih-hu fid-din.” Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah mendapatkan puncak segala kebaikan, maka Allah akan memahamkannya (membuatnya faqih) terhadap dien-Nya.

Anda mungkin pernah mendengar nama seorang tabi’in besar Waki’ ibn Al Jarrah. Kalau Anda belum pernah mendengar namanya, tentu anda sudah sering mendengar nama Imam asy Syafi’iy. Nah, imam Asy Syafi’iy ini adalah murid dari Waki’ ibn Al jarrah itu. Ketika Asy Syafi’iy mengalami kesulitan menghafal, pada sang guru inilah ia mengadu. Nasehat sang guru itu kemudian ia abadikan dalam sya’ir yang sangat terkenal:

Kemengadukan pada Waki’ akan hafalanku yang buruk.
Lalu ia menasehatiku agar meninggalkan maksiat Kerna ilmu itu adalah cahaya Allah.
Dan cahaya itu takkan dikaruniakan pada pelaku maksiat

Waki’ ibn Al-Jarrah ini pernah mengalami kejadian yang sangat menakutkan akibat tergelincir dalam masalah yang dibahas dalam tulisan ini. Tetapi begitulah, setiap ‘alim di bumi ini akan mempunyai zallah, ketergelinciran dan ketersalahan. Tidak ada yang mas’shum selain Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Entah bagaimana kisahnya, Waki’ pernah mendengarkan sebuah riwayat tentang kisah kematian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Kisah itu ia riwayatkan dari seorang bernama Ismai’il ibn Abi Khalid. Lalu Isma’il ini meriwayatkannya daari ‘Abdullah Al Bahiyy. Nah, ‘Abdullahh Al-bahiyy inilah yang kemudian mengatakan bahwa “Sahabat Abu Bakr Shiddiq - Shallallahu Alaihi wa Sallam- mendatangi jenazah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Kemudian beliau bersimpuh dan menciumnya seraya mengatakan:”duhai, alangkah indahnya hidup dan kematianmu, wahai Rasulullah.” Setelah itu –masih berdasarkan penuturan ‘Abdullah Al Bahiy- jenazah beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam agak membengkak demikian pula jari-jari beliau.” Demikian –lah riwayat ‘abdullah Al-Bahiyy yang diterima oleh Waki’ ibn Al-Jarrah.

Suatu ketika dalam sebuah majlisnya di Mekkah, ia menyampaikan riwayat ini; sebuar riwayat yang sesungguhnya adalah riwayat yang mungkar dan munqathi’ (terputus). Mekkah pun heboh. Apa lagi kalangan orang Quraisy. Mereka berkumpul dan bersepakat untuk menyalib Waki’ yang dianggap melecehkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan meriwayatkan kisah tersebut. Padahal niat Waki’ sesungguhnya sangat baik. Ketika ia ditanya mengapa ia menyampaikan riwayat itu, ia mengatakan,”beberapa orang sahabat, diantaranya ‘Umar ibn Al-Khathtab tidak mempercayai bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengalami kematian. Maka (berdasarkan rewayat tersebut) Allah kemudian menunjukkan kepada mereka beberapa tanda kematian (yaitu anggota tubuh yang berubah menjadi agak membengkak).”
Sebuah alasan yang masuk akal. Namun orang-orang Quraisy sudah terlanjur marah. Mereka telah menyiapkan kayu untuk menyalibWaki’ ibn Al-Jarrah. Namun untunglah pertolongan Allah segera menghampirinya. Di saat yang genting itu, muncullah Sufyan ibn ‘Uyainah. Ia segera saja berteriak,”Demi Allah! Demi Allah! Jangan kalian lakukan itu! Ini adalah faqihnya negeri Irak, ayahnya juga seorang ‘alin besar disana. Sedangkan riwayat yang ia sampaikan itu adalah riwayat yang masyhur.” (Dan Sufyan tidak berdusta ketika mengatakan bahwa riwayat itu sebuah riwayat yang masyhur, sebab riwayat yang masyhur belum tentu shahih). Padahal –seperti kata Sufyan kemudian-: “aku belum pernha mendengarkan riwayat itu sebelumnya. Aku hanya ingin Waki’.”
Demikianlah akhir kisah Waki’ ibn Al Jarrah, guru Imam Asy-syafi’iy. Seperti kata seorang ahli besar, Adz Dzahaby, “kisahnya sungguh aneh. Ia sesungguhnya bermaksud baik. Namun sangat disayangkan saat itu kenapa ia tidak memilih dian dan tidak menyampaikannya (riwayat itu). Padahal Nabi SAW telah mengatakan : “cukup menjadi dosa bagi seseorang bila ia membicarakan setiap apa yang ia pernah dengarkan.”… hampir saja nyawanya melayang…”
maka seperti kata-kata hikmah kitapun mengatakan, “…wa laisa kullu ma yuqaalu, yuqaalu fi kulii maqam…”-bila tidak semua yang diketahui pantas terucapkan- maka tidak semua yang pantas terucapkan itupun tidak serta merta dapat diucapkan di setiap tempat, waktu dan orang. Sebuah pesan penting untuk para empunya ilmu untuk bersikap bijak.

Sumber: Rindu Yang Berujung Surga, Abul Miodad Al-Madany

Tidak ada komentar: