Sabtu, 22 Mei 2010

JATI DIRI MANUSIA



Ada tiga pertanyaan abadi, yakni dari mana ? mau kemana ? dan untuk 
apa kehadiran manusia di pentas kehidupan. Pertanyaan pertama dan 
kedua sudah terjawab; orang beragama menyatakan bahwa manusia berasal 
dari Allah dan akan kembali kepada Nya, inna lillahi wa inna ilaihi 
raji`un. Orang Atheis menyatakan bahwa manusia hadir secara alamiah 
dan nanti akan hilang secara alamiah, tidak ada akhirat, tidak ada 
sorga ataupun neraka. 
 
Pertanyaan ketigalah yang selalu mengelitik manusia sepanjang 
sejarah. Dalam keadaan tertentu orang sering mempertanyakan makna 
kehadiran dirinya, sehingga muncullah pertanyaan-pertanyaan; (a) 
untuk apa aku dilahirkan ? (b) untuk apa aku capai-capai ngurusin 
beginian ? (c) untuk apa semua yang telah kukerjakan ? (d) mengapa 
aku harus patuh ?, (e) untuk apa jujur jika semua pada korupsi ? . Di 
sisi lain ada yang bertanya-tanya : (f) kenapa ya kita selalu membela 
dia sampai hampir mati, padahal kita nggak dikasih apa-apa ? (g) 
kenapa kita sedih ketika dia mati ? (h) kenapa orang pergi haji suka 
menangis ? dan masih banyak lagi pertanyaan orang.
 
Kesemuanya itu sebenarnya berhubungan dengan apa yang disebut makna 
hidup, (the meaning of life). Manusia memang bukan saja makhluk 
biologis, tetapi juga makhluk yang bisa berfikir, merasa dan mengeti 
akan makna hidup. Terkadang atau kebanyakan orang lebih menonjol 
kebiologisannya, sehingga meski ia berpendidikan tetapi perilakunya 
tak lebih dari perilaku hewan. Ada yang seperti kambing (tidak bisa 
mendengar nasehat), ada yang seperti ular (licik), seperti ayam jago 
(free sex), seperti anjing (pendengki) dan ada yang seperti lalat 
(baik-buruk di embat semua). Adapun orang yang mengerti akan makna 
hidup maka ia mengerti akan makna pengorbanan, makna persahabatan, 
makna kesetiaan. Orang yang mengerti akan makna hidup sanggup untuk 
menderita demi kebahagiaan orang lain, sanggup menantang maut demi 
kehidupan orang lain, sanggup menderita di dunia demi kebahagiaan di 
akhirat.
 
Jati Diri Manusia Menurut Al Qur'an
Al Qur'an menyebut jati diri manusia dengan berbagai sebutan, sesuai 
dengan kualitas perilakunya , yaitu , mu'min, muslim, muttaqin, 
fasiq, munafiq, kafir, zalim, mukhlis, sabir, halim, hanif, jahil,
 
1. Musilim, Mu'min dan Muttaqin
Seorang muslim artinya orang yang telah berpasrah diri kepada Tuhan, 
tetapi dalam rangking manusia berkualitas, seorang yang baru pada 
tingkat muslim berada pada tingkatan terendah. Karakteristik seorang 
muslim adalah seorang yang telah meyakini supremasi kebenaran, 
berusaha untuk mengikuti jalan kebenaran itu, tetapi dalam praktek ia 
belum tangguh karena ia masih suka melupakan hal-hal yang kecil. 
Sedangkan seorang yang sudah mencapai kualitas mukmin adalah seorang 
muslim yang sudah istiqamah atau konsisten dalam berpegang kepada 
nilai-nilai kebenaran, sampai kepada hal-hal yang kecil. Ciri orang 
mukmin antara lain (1) hanya berbicara yang baik, (2) tidak menganggu 
orang lain, (3) merasa sependeritaan dengan mukmin yang lain, dan 
sebagainya. Sedangkan Muttaqin adalah orang mukmin yang telah 
menjiwai nilai-nilai kebenaran dan allergi terhadap kebatilan. 
 
2. Fasiq, Kafir dan Munafiq.
Orang Fasiq adalah orang yang mengetahui dan meyakini supremasi nilai 
kebenaran, tetapi dalam kehidupan ia malas mengikutinya terutama jika 
bertentangan dengan dorongan syahwat/kesenangannya. 
 
Adapun orang kafir adalah kebalikan dari orang mukmin. Jika orang 
mukmin konsisten dalam berpegang kepada kebenaran yang diimaninya 
dalam keadaan apapun, orang kafir konsisten dalam hal tidak 
mempercayai kepada nilai-nilai kebenaran. Secara terbuka ia 
menyatakan tidak percaya kerpada Tuhan, kepada dosa dan kepada 
kebajikan..
 
Sedangkan orang munafik, karakteristiknya dapat disebut sebagai orang 
yang bermuka dua, berbeda antara kata dan perbuatan. Jika orang kafir 
secara terbuka mengemukakan kekafirannya, orang munafik justeru 
menyembunyikan kemunafikannya. Secara lahir ia perlihatkan perilaku 
seakan-akan ia sama dengan orang mukmin yaitu mempercayai nilai-nilai 
kebenaran, padahal yang sebenarnya ia tidak percaya dan berusaha 
melecehkan kebenaran dibelakang penglihatan orang mukmin. Orang 
munafik tak ubahnya musuh dalam selimut, sehari-hari ia bersama kita 
padahal ia memusuhi kita, mencuri peluang untuk mencelakakan kita. 
Tanda-tanda orang munafik menurut hadis Nabi ada tiga, yaitu (1) jika 
berkata dusta, (2) jika berjanji ingkar, (3) jika dipercaya khianat.
 
Karena kualitas itu bersifat psikologis, maka jarak antara satu 
kualitas dengan kualitas yang lain tidaklah seterang warna hitam dan 
putih, oleh karena itu seorang mukmin boleh jadi pada dirinya masih 
terdapat karakter-karakter fasiq, nifaq atau bahkan kufur. 
 
 
3. Mukhlis, Shabir dan Halim
Mukhlis, artinya orang yang ikhlas. Seorang dengan kualitas mukhlis 
adalah orang yang hatinya bersih dari keinginan memperoleh pujian. 
Semua perbuatannya, perkataannya, pemberiannya, penolakannya, 
perkataannya, diamnya, ibadahnya dan seterusnya, semata-mata 
dilakukan hanya untuk Allah SWT. Oleh karena itu baginya pujian orang 
tidak membuatnya berbangga hati, dan kekecewaan serta caci maki orang 
tidak membuatnya surut
 
Adapun shabir atau shabur, artinya adalah orang yang sabar atau 
penyabar. Menurut Imam Gazali, sabar artinya tabah hati tanpa 
mengeluh dalam menghadapi cobaan dan rintangan, dalam jangka waktu 
tertentu, dalam rangka mencapai tujuan. Jadi orang yang bisa sabar 
adalah orang yang selalu ingat kepada tujuan, karena kesabaran itu 
diperlukan adalah justeru demi untuk mencapai tujuan. Orang yang 
tidak sabar biasanya , karena lupa tujuan akhir, ia mudah terpedaya 
untuk melayani gangguan-gangguan yang tidak prinsipil, sehingga apa 
yang menjadi tujuan terlupakan dan segalanya menjadi berantakan.. 
Manusia dengan kualitas penyabar adalah sosok manusia yang ulet, tak 
kenal menyerah, tak kenal putus asa, dan tak kurang akal.. Al Qur'an 
menghargai manusia unggul yang penyabar, setara dengan seratus orang 
kafir (yang sombong, emosionil dan tak mempunyai nilai keruhanian) 
(Q/al Anfal, 65). Dalam keadaan normal. Al Qur'an menghargai peribadi 
penyabar setara dengan dua orang biasa (Q/8: 66).
 
Sedangkan manusia dengan kualitas halim, Al Qur'an memberi contoh 
sosok nabi Ibrahim. Dia adalah pribadi yang awwahun halim (Q/ at 
Taubah: 114). Nabi Ibrahim sebagai sosok model seorang yang 
berkualitas halim, memang sangat tepat, karena pada dirinya terkumpul 
sifat-sifat kecerdasan, kelembutan hati, belas kasih, dan perasaan 
mengkhawatirkan keadaan orang lain.. Ibrahim tidak memiliki perasaan 
marah dan benci termasuk kepada orang yang memusuhinya. Ketika Nabi 
Ibrahim lapor kepada Tuhan tentang kaumnya yang patuh dan yang 
durhaka, Nabi Ibrahim memohon kepada Tuhan agar mengampunni dan 
menyayangi kaumnya yang durhaka (faman tabi`ani fa innahu minni , 
waman `asoni fa innaka ghofu run rohiem (Q/14:36). 
 
4. Zalim dan Jahil
Zalim (sewenang-wenang) dan jahil (bodoh) keduanya merupakan penyakit 
yang dalam bahasa Arab disebut maradl.. Jika adil mengandung arti 
menempatkan sesuatu pada tempatnya (proporsionil), maka perbuatan 
zalim artinya menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Orang zalim 
melakukan sesuatu tidak pada tempatnya secara sadar, disebut juga 
sewenang-wenang, sedangkan orang jahil suka melakukan hal yang sama 
tetapi tanpa keasadarannya karena kebodohannya. Orang pandai 
terkadang melakukan perbuatan zalim , yang bisa juga disebut sebagai 
perbuatan bodoh. Orang bodoh yang baik hati itu lebih baik daripada 
orang pandai yang zalim. Kezaliman orang bodoh biasanya hanya sedikit 
dampaknya, tetapi kezaliman orang pandai bisa berdampak sangat luas.

Tidak ada komentar: