Allah membedakan manusia karena kesanggupannya untuk berpikir, yang merupakan sumber dari segala kesempurnaan dan puncak segala kemuliaan dan ketinggian di atas makhluk lain. Menurutnya, sebab dari hal tersebut berasal dari pengertian idrak, yaitu kesadaran dalam diri tentang hal yang terjadi di luar dirinya. Kesadaran semacam itu hanya dimiliki oleh hewan saja, tidak pada lain-lain benda (makhluk) yang mungkin ada. Sebab hewan menyadari akan sesuatu di luar dirinya dengan perantaraan panca inderanya yang telah dianugrahkan Allah1. Sedangkan manusia memahami ini dengan kekuatan pemahaman melalui perantaraan pikiran yang ada di balik pancainderanya.
Berpikir, fikr, ialah menjamah bayang-bayang di balik perasaan dan aplikasi akal di dalamnya untuk pembuatan analisa dan sintesa.
Berpikir, fikr, ialah menjamah bayang-bayang di balik perasaan dan aplikasi akal di dalamnya untuk pembuatan analisa dan sintesa.
Kesanggupan berpikir ada tiga tingkatan:
1. Pemahaman intelektual manusia terhadap segala sesuatu yang ada di luar alam semesta dalam tatanan alam atau tata yang berubah-ubah, dengan maksud supaya dia dapat mengadakan seleksi dengan kemampuannya sendiri. Bentuk pemikiran semacam ini kebanyakan berupa persepsi-persepsi. Inilah akal pembela (al-’aql ut-tamyizi) yang membantu manusia memperoleh segala sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya, memperoleh penghidupannya dan menolak segala yang sia-sia bagi dirinya.
2. Pikiran yang memperlengkapi manusia dengan ide-ide dan perilaku yang dibutuhkan dalam pergaulan dengan orang-orang bawahannya dan mengatur mereka. Pemikiran semacam ini kebnayakan berupa appersepsi-appersepsi, (tashdiqat) yang dicapai satu demi satu melalui pengalaman, hingga benar-benar dirasakan manfaatnya. Inilah yang disebut dengan akal eksprimental, al-’aql at-tajrib.
3. Pikiran yang memperlengkapi manusia dengan pengetahuan (i’im) atau pengetahuan hipotesis (dzann) mengenai sesuatu yang berada di belakang persepsi indera tanpa tindakan praktis yang menyertainya. Inilah akal spekulatif (al-‘aql an-nadzari). Ia merupakan persepsi dan appersepsi, tasawur dan tashdiq, yang tersusun dalam tatanan khusus, sesuai dengan kondisi-kondisi khusus, sehingga membentuk pengetahuan lain dari jenis yang sama, baik perspektif maupun apperspetif. Kemudian, semua itu bergabung dengan hal-hal lain, lalu membentuk pengetahuan yang lain lagi. Akhir dari proses ini ialah supaya terlengkapi genera, differensia, sebab-akibatnya. Dengan memikirkan hal-hal ini, manusia mencapai kesempurnaan dalam realitasnya, dan menjadi intelek murni dan memiliki perspektif. Inilah makna realitas manusia (al-haqiqah al-insaniah).
1. Pemahaman intelektual manusia terhadap segala sesuatu yang ada di luar alam semesta dalam tatanan alam atau tata yang berubah-ubah, dengan maksud supaya dia dapat mengadakan seleksi dengan kemampuannya sendiri. Bentuk pemikiran semacam ini kebanyakan berupa persepsi-persepsi. Inilah akal pembela (al-’aql ut-tamyizi) yang membantu manusia memperoleh segala sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya, memperoleh penghidupannya dan menolak segala yang sia-sia bagi dirinya.
2. Pikiran yang memperlengkapi manusia dengan ide-ide dan perilaku yang dibutuhkan dalam pergaulan dengan orang-orang bawahannya dan mengatur mereka. Pemikiran semacam ini kebnayakan berupa appersepsi-appersepsi, (tashdiqat) yang dicapai satu demi satu melalui pengalaman, hingga benar-benar dirasakan manfaatnya. Inilah yang disebut dengan akal eksprimental, al-’aql at-tajrib.
3. Pikiran yang memperlengkapi manusia dengan pengetahuan (i’im) atau pengetahuan hipotesis (dzann) mengenai sesuatu yang berada di belakang persepsi indera tanpa tindakan praktis yang menyertainya. Inilah akal spekulatif (al-‘aql an-nadzari). Ia merupakan persepsi dan appersepsi, tasawur dan tashdiq, yang tersusun dalam tatanan khusus, sesuai dengan kondisi-kondisi khusus, sehingga membentuk pengetahuan lain dari jenis yang sama, baik perspektif maupun apperspetif. Kemudian, semua itu bergabung dengan hal-hal lain, lalu membentuk pengetahuan yang lain lagi. Akhir dari proses ini ialah supaya terlengkapi genera, differensia, sebab-akibatnya. Dengan memikirkan hal-hal ini, manusia mencapai kesempurnaan dalam realitasnya, dan menjadi intelek murni dan memiliki perspektif. Inilah makna realitas manusia (al-haqiqah al-insaniah).
Sumber : Muqadimah. Ibnu Khaldun. terjemah by Ahmadie Thoha 1986 Jakarta Pustaka Firdaus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar